NIkmatnya Hamil Berbonus Kista

a

Didiagnosa ada kista berdiameter 6,7 cm di USG pertama kehamilan pasti akan membuat siapa saja terkejut. Termasuk aku. Ya, saat sore itu aku berkunjung ke dokter kandungan untuk meyakinkan diri bahwa aku memang hamil. Benar, aku hamil. Ada kantung janin bersemayam di perutku. Dan dokter memberiku bonus kista sebesar itu. Aku tidak pernah menyadari ada bola kecil tumbuh di tubuhku. Tidak ada tanda-tanda sebelumnya atau aku mengabaikannya karena terlalu sibuk bergelut dengan waktu dan pekerjaan.

Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kuasaku menerimanya. Kepercayaan kepada-Nya memberikan secercah keyakinan dan kekuatan.  Aku dan anakku pasti bisa bersama melawan kista. Hanya saja impian melahirkan normal sudah sirna, dokter dan bidan tidak berani bertaruh dengan nyawa anakku dan nyawaku sendiri.

Kista terus dipantau selama kehamilan. Sayangnya di trimester kedua, kista bersembunyi di belakang janin. Beruntung kata dokter, kista tidak mempengaruhi perkembangan janinku. Hanya saja saat si kecil menendang, ada kalanya terasa sangat nyeri. Mungkin si kecil menemukan bolanya di dalam sana.

Masuk usia kehamilan 8 bulan, baju-baju dan perlengkapan bayi sudah aku beli. Cuti hamil masih belum aku ajukan. Pekerjaan kantor masih menumpuk, aku tidak mau meninggalkan beban untuk rekan-rekanku. Aku masih lembur sampai senja menjelang.

Juga sore itu.

Jam enam sore aku baru keluar dari kantorku. Pulang naik motor sendiri masih akrab denganku. Dengan ekstra hati-hati tentunya. Sesampainya di rumah, aku temui ada flek saat aku mandi. Ah, mungkin hanya kecapekan. Tapi, suami segera memintaku periksa ke bidan. Setelah maghrib kami mendapat berita  yang membuat suami melongo. Sudah pembukaan 1.  Padahal usia kehamilan baru 8 bulan, kontraksipun belum ada (*atau aku yang ndableg karena terbiasa meringis saat si kecil sedang bermain bola di perut). Bidan segera menghubungi dokter kandungan koleganya. Dan aku dirujuk ke rumah sakit tempat sang dokter berada.  Malam itu juga.

Masuk rumah sakit, suami dan mertua sibuk menurunkan bawaan. Aku melenggang santai ke UGD. Perawat melongo melihat ada ibu perut buncit masuk UGD membawa surat rujukan melahirkan untuk dirinya sendiri. Mendaftar pasienpun kulakukan sendiri, kali ini petugas pendaftaran bingung, lihat ada pasien mendaftarkan dirinya sendiri, untuk operasi pula. Beruntung suami segera datang.

Hampir tengah malam, aku didorong masuk ke ruang operasi.  Aku sudah pasrah atas kehendak-Nya. Sadar dengan kondisiku, terpikir olehku kematian akan mendatangiku. Hanya satu permintaanku, jika memang ini hari terakhir aku hidup di dunia, ijinkan aku melihat anakku sebelum nyawa lepas dari raga.

Aku masih merasai kehilangan kontrol atas separuh tubuhku, aku masih mendengar denting alat operasi dan detak suara pengukur degub jantung sampai akhirnya aku terbangun satu jam kemudian.  Perawat memberitahu bayiku berada di kamar bayi. Sehat dan montok. Alhamdulillah….

Operasi lancar, hanya saja terjadi pendarahan,  kista pecah, turunnya kadar hb dan harus segera ditransfusi darah. Kondisiku belum memungkinkan untuk menemui anakku. Baru 7 jam kemudian perawat membawa bayiku ke pandangan mataku. Biarlah orang di luar sana menghujat para ibu yang memilih SC daripada melahirkan normal. Aku tetap menjadi ibu, sama seperti ibu yang lainnya. Ibu dari anakku.