Glow in the Dark [ajarfiksi #4]

Glow in the Dark

 

“Min…. Minah… pulang sekolah nanti Minah mampir ke rumah Pipin ya. Ada sesuatu yang mau Pipin perlihatkan.” Minah yang sedang sibuk menghitung jumlah kerikil dengan pikirannya itu sontak menoleh mendengar suara sahabatnya itu.

“Minah lagi ngapain sih?” tanya Pipin. Dia heran melihat Minah duduk di teras kelas sambil memandangi kerikil-kerikil yang berserakan.

“Ngitung kerikil. Banyak sekali. Mereka pasti senang sekali hidup bareng teman-temannya. Pasti diantara kerikil itu ada bapaknya, ada ibunya dan anak-anaknya. Lihat itu, ada kerikil kecil diantar kerikil yang agak besar. Pasti yang besar itu bapak dan ibunya dan yang disamping-sampingnya itu pasti kakak-kakaknya. Wah senang sekali ya…” jelas Minah sambil menunjuk kerikil-kerikil yang dia maksud. Seratus persen Pipin melongo. Mulutnya membentuk huruf O agak sedikit lonjong.

“Eh Min, bukannya kerikil itu tidak hidup. Di pelajaran IPA kan sudah diajari. Kalau tidak hidup berarti tidak punya anak kan?” kata Pipin. Pipin memang jago pelajaran IPA. Minah tertawa. Dia juga tahu hal itu. Dia cuma iseng memperhatikan kerikil-kerikil itu. Tiba-tiba wajah Minah berubah. Murung. Teringat bapak dan kakak satu-satunya yang pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib. Kasihan ibu sendiri di rumah.

“Tadi kamu bilang apa Pin?” tanya Minah. Mencoba menghalau rasa sedihnya.

“Pulang sekolah nanti, Minah ke rumah Pipin dulu ya…” jawab Pipin. Minah tersenyum. Pasti Pipin mau pamer lagi. Sahabatnya itu memang anak orang kaya. Bapaknya kerja di kantor kecamatan. Ibunya guru SMP. Dan Pipin anak tunggal. Apa saja keinginan Pipin pasti dipenuhi. Sangat berbeda dengan dirinya yang hanya anak penjual sate lontong. Ibunya keliling komplek menjajakan sate lontongnya setiap sore. Keluarga yang serba kurang. Itulah kenapa bapak dan mas-nya memilih mengadu nasib di Jakarta.

“Mau kan?” tanya Pipin lagi. Minah mengangguk saja. Cari hiburan lah. Apa lagi hal baru yang Pipin punya ya? Minah sudah cukup senang ada anak orang kaya yang mau berteman dengan anak orang miskin sepertinya.

Teng… teng…

Pipin dan Minah beranjak ke kelas. Istirahat ke dua sudah habis. Langit biru yang cerah memayungi sekolah dasar yang selalu riang itu.

* * *

 

“Ini lho yang mau Pipin tunjukkan” kata Pipin sambil menunjuk benda transparan berwarna agak hijau yang tertempel di langi-langit kamar Pipin. Beberapa berbentuk bintang, yang lain berbentuk bulan. Tertempel menyebar di langit-langit dan di dinding kamar.

Minah melongo. Benda apaan tuh?

“Min, tolong tutup jendelanya, kalo terlalu terang tidak kelihatan.” Minah melangkah ke jendela. Ditutupnya semua jendela. Pipin menarik korden yang besar. Ruangan itu berubah gelap.

“Nah lihat, benda itu menyala kan? Memang sih kalau siang tidak terlalu terang. Tapi kalau malam trus lampunya dimatikan, kelihatan lebih terang lagi.” jelas Pipin.

“Menyala seperti lampu?” tanya Minah. Lugu.

“Iya lah. Tapi tidak seterang lampu.” Minah mengangguk-angguk. Coba kalau benda itu ada di kamar kecilnya, pasti juga indah. Lampu lima watt di kamarnya bisa dimatikan. Ngiirit listrik kan? Tapi, benda itu pasti mahal.

“Namanya glow in the dark. Kata Mama Pipin, artinya menyala saat gelap.” Kata Pipin. Mulut Minah membentuk huruf O. Kali ini sedikit lebih bundar dari pada Pipin.

“Eh ada Nak Minah, Pipin pamer lagi ya?” sapa Mamanya Pipin.

“Ini lho Ma, Pipin nunjukkkin glow in the dark.” Pipin yang menjawab. Minah hanya tersnyum. Mama Pipin orangnya sangat baik.

“Minah mau?” tanya Mama Pipin. Minah mengangguk malu-malu.

“Mama Pipin akan membelikan Minah glow in the dark yang sama seperti punya Pipin kalau Minah nilai ulangan IPA Minah lebih tinggi dari nilai Pipin. Gimana?” Minah tersenyum kecut. Dia paling lemah pelajaran IPA. Dia lebih jago pelajaran IPS. Tak urung Minah pun mengangguk. Tantangan. Walaupun mustahil tapi akan aku coba!

* * *

 

Kerikil itu meloncat jauh. Minah mengejarnya dan menendangnya lagi. Jalan yang ditapakinya semakin berkerikil. Jalan desa. Sedari tadi pikiran Minah menggaungkan kata-kata Mama Pipin.

Ulangan IPA? Mustahil sekali. Ulangan kemarin dapat 55, kemarinnya lagi dapat 65 jarang sekali bisa lebih dari 70. Sekarang harus mengalahkan Pipin yang selalu dapat 80 lebih?! Oh… hil yang mustahal!

Minah mengentikan laju kakinya.

Atau… aku cari uang saja untuk beli glow in the dark? Berapa tadi harganya? Lima ribu? Kalo aku mulung plastik sehari bisa dapat lima ratus, dalam sepuluh hari aku sudah bisa beli glow in the dark itu. Kalo aku bisa lebih semangat lagi, pasti aku bisa beli glow in the dark itu kurang dari sepuluh hari. Aha… ide yang bagus! Tapi aku akan tetap berusaha mengalahkan nilai Pipin!!!

Langkahnya kembali diayunkan. Kali ini lebih ringan dan semangat. Sepatu mangapnya bernyanyi di kakinya.

* * *

 

Terik sang surya tidak membuat pohon-pohon menundukkan dirinya. Begitu juga Minah. Semangat yang membuncah membuatnya ingatan tentang rasa lelah sirna dari pelupuk matanya. Satu demi satu plastik yang tercecer di pinggir jalan dan di tempat sampah dipungutnya dan dimasukkan ke keranjang penampung yang menggantung di punggungnya.

Langkah-langkahnya terus bersenandung. Sesekali tangan kurus dan hitam itu mengusap dahi, sekedar menghapus titik-titik peluh yang menetes perlahan. Bayangan glow in the dark terus menari-nari di jiwanya.

Langit keemasan memayungi jalan yang di lalui Minah. Minah melambaikan tangan ke langit barat, mengucapkan salam perpisahan. Minah yakin matahari senja itu akan ditemuinya lagi esok hari di langit barat.

Minah menurunkan plastik-plastik yang sudah bersih dari keranjang penampungnya ke timbangan Mang Udin.

“Ditabung ya Neng, buat beli buku.” kata Mang Udin. Selembar uang ribuan disodorkan. Minah menerimanya dengan senyum lebar yang mengembang.

“Iya Mang, matur nuwun…” Bayangan Mang Udin mengingatkan Minah pada bapaknya. Pak, Minah kangen Bapak…

Sesampainya di rumah, dimasukannya uang itu di celengan bambu yang baru dibuatnya kemarin sore. Sepuluh hari lagi akan aku buka.

“Nduk, kok baru pulang? Dari mana?” tanya Emaknya. Minah menoleh. Celengannya sedih diacuhkan.

“Mulung plastik Mak, buat beli glow in the dark.”

Opo Nduk? Glodak?” Minah tertawa mendengar pertanyaan ibunya.

Glow in the dark Mak, artinya terang saat gelap.” tawa kecil menghiasi bibirnya.

Kaya lampu ngono?” tanyanya lagi.

“Cuma hiasan kok Mak. Minah ingin kalo pas malam ada banyak bintang-bintang di sana.” kata Minah sambil menunjuk eternit papan di atasnya.

“Oalah Nduk, cuma hiasan thok ta? Mbok yao dibelikan buku tulis saja.” kata Emak Minah. Minah spontan merengut. Bete! Emak Minah tersenyum. Ia tahu, Minah akan melakukan apa saja untuk sesuatu yang diinginkannya. Sifat turunan dari bapaknya.

Yo wis Nduk, terserah Minah. Toh yang ngumpulin uang itu kan Minah, bukan Emak.” katanya sambil mengelus rambut anaknya. Sebentuk senyum tersungging di ujung bibirnya.

“Tapi, jangan lupa belajar ya… Jadilah glow in the dark. Terang di saat gelap. Minah kan tau, kita orang nggak punya. Cuma Minah yang sekolah, jadi Minah harus bisa menerangi rumah ini. Jangan kayak Emak dan Bapak, gelap terus.” Nasehat senada itu sudah berulangkali didengar Minah. Minah sudah mencatatnya berkali-kali.

Minah mengangguk mantap.

* * *

 

Bayangan lampu lima watt yang tergantung di atas kamar menutupi buku catatan Minah. Digesernya posisi duduknya. Agar bayangan itu tidak mengganggunya.

Mata Minah sudah pegal. Lampu lima watt bukan teman belajar yang baik. membuat mata cepat ngantuk. Sudah sejak isya tadi Minah memelototi buku IPA-nya. Pelajaran itu memang sulit.

Tapi aku harus berusaha! Aku pasti bisa!! Aku akan mengalahkan Pipin!!!

Demi glow in the dark!!!

Pandangan matanya berpindah ke langit-langit kamarnya. Terbayang di sana banyak bintang-bintang yang menyala dan tersenyum padanya. Pasti seperti memandang langit.

Heh…!!! Kok malah ngalamun! Belajar!!! Belajar!!!

Minah kembali menekuni bukunya. Semangat perjuangan 45 berkobar di dadanya. Hanya satu ambisi glow in the dark yang ada dikepalanya.

Sampai semangat itu meluntur dan membawanya terbang ke langit bersama bintang-bintang glow in the dark.

Sang emak yang sedari tadi memperhatikan anaknya bangkit dari duduknya. Jahitannya diletakkan begitu saja. Ia tersenyum melihat anaknya. Benar-benar seperti suaminya. Ambisius! Apapun dilakukan. Digendongnya tubuh mungil itu dan dibaringkan di tempat tidur tak berkasur. Dan anak itu tidur diselimuti doa.

* * *

 

Minah melirik Pipin yang sedang mencermati soal ulangan di papan tulis. Kening Pipin berkerut, mungkin soal itu terlalu sulit untukknya. Minah tersenyum menang. Semua soal itu sudah aku kerjakan semalam. Aku pasti akan mengalahkanmu Pin!!

Minah mulai mengerjakan soal-soal ulangan itu. Tidak terlalu sulit. Sebenarnya kalau aku mau belajar pasti aku bisa.

Sejam kemudian Minah menyerahkan lembar jawabannya. Ia tersenyum bangga. Dia selesai paling awal. Kemudian dia keluar, duduk di teras kelasnya. Lagi-lagi memperhatikan kerikil yang berserakan di dekat pot bunga. Kali ini kerikil itu berubah menjadi bintang-bintang glow in the dark.

* * *

 

“Siti Aminah.” panggil Ibu guru. Minah segera maju ke depan kelas. Diterimanya kertas hasil ulangan.

“Minah, lain kali kamu harus lebih teliti. Kalau sudah selesai diteliti lagi ya.” Pesan Bu Aida- guru kelasnya. Minah terdiam. Dibukanya hasil ulangannya. Minah terhenyak. Hanya ada satu tanda silang di bagian hasil akhir. Apa yang salah?

Bendungan waduk air matanya perlahan jebol. Kesalahannya sangat sepele. Mosok 2 dikalikan 4 hasilnya 6. Dan itu jelas mengurangi nilainya. Dia pasti kalah dengan Pipin.

Diliriknya Pipin yang sedang mengamati kertas ulangannya. Tidak ada senyum di wajahnya. Tidak seperti biasanya. Jangan-jangan…

“Pin, dapat berapa? Kok sedih?” tanya Minah pelan. Berharap perkiraannya benar. Ekspresi sedihnya begitu kentara.

“Aku nggak dapat seratus Min. Ada yang salah.” jawabnya lesu. Hati Minah bersorak.

“Berapa?” tanya Minah lagi. Pipin hanya menyodorkan lembar jawabnya. Minah menyambutnya dengan semangat.

Ekspresi Minah berubah. Semangatnya hilang seketika. Dikembalikannya kertas itu.

“Kamu dapat berapa? Pasti lebih baik dari Pipin ya? Selamat ya. Nanti Pipin bilang sama mama. Kita bakal punya glow in the dark yang sama.” kata Pipin tulus. Minah tersenyum simpul. Disodorkannya kertas ulangannya.

Pipin melongo. Nilainya hanya berpaut satu. Nilai Minah 95. Pipin masih lebih tinggi.

“Aku tidak bisa mengalahkanmu.” kata Minah pelan. Kemudian dia berdiri. Berjalan ke luar kelas. Pipin terpaku. Sahabatnya begitu berduka. Dia tahu perjuangan Minah pasti sangat keras.

Minah kembali menekuri kerikil-kerikil di depan kelasnya. Berharap kerikil-kerikil itu benar-benar berubah menjadi glow in the dark.

* * *

 

“Nduk, Emak boleh pinjam uangmu? Duit Emak kurang lima ribu. Kalo Emak tidak dapat uang itu, besok Emak nggak jualan.” kata Emak. Minah diam membisu. Matanya tidak lepas dari celengan bambunya.

“Nduk…” panggil Emaknya. Minah menoleh. Sang Emak menangkap kesedihan dimata anaknya. Mata yang begitu berambisi kini sayu.

Minah masih sepi. Glow in the dark dari Mama Pipin sudah lenyap dari tangannya. Kini, uang yang sudah dikumpulkannya berhari-hari akan diminta Emaknya. Minah sangat tahu, uang itu takkan pernah kembali lagi padanya. Dan tidak akan ada glow in the dark yang berpijar di kamarnya.

Keduanya terdiam. Hanya cicak di dinding yang berteriak-teriak memanggil temen-temannya. Mungkin ingin menyaksikan kelanjutan adegan itu.

Semenit kemudian…

Minah menyerahkan celengan bambunya. Ada senyum menyungging di bibirnya.

“Buat apa glow in the dark Mak, kalo besoknya kita tidak bisa makan”. Sang Emak menatap Minah. Ambisi di mata anaknya benar-benar luluh. Minah beranjak ke dapur. Kadang bukan karena umur kedewasaan itu hadir tapi karena paksaan keadaan hidup. Dia datang tanpa kita tahu. Entah berapapun bilangan umurnya.

Emak Minah melangkah menyusul buah hatinya. Celengan itu ikut serta.

“Min, Emak baru saja inget. Emak punya uang simpenan di lemari. Ini Emak kembalikan uang Minah. Katanya mau beli glow in the dark. Beli sana…” Mata Minah berbinar. Dia kembali menjadi anak-anak. Diterimanya celengan itu dengan riang. Emak Minah hanya bisa memandang haru. Ia tidak tega memadamkan pelita di mata anaknya.

* * *

“Min, ini dari Mama.” Pipin menyerahkan bungkusan plastik. Minah menerimanya, masih tanpa senyum. Ia terdiam setelah tahu isinya. Glow in the dark.

“Kok sedin Min?” tanya Pipin heran.

Minah mengeluarkan kresek dari tasnya. Glow in the dark juga. Baru dibeli siang tadi.

“Terima kasih Pin.” katanya singkat.

“Udah nggak usah sedih. Kan malah jadi tambah banyak, aku bantu masang ya…” Minah mengangguk. Keduanya melangkah bersama. Beberapa jam kemudian, semua glow in the dark sudah tertempel di eternit papan kamar Minah.

“Tinggal menunggu malam.” kata Pipin. Minah mengangguk.

* * *

 

Minah dan Emaknya berbaring di kegelapan malam. Keduanya memandang bintang-bintang yang tersebar di atas ruangan kecil yang jadi satu-satunya kamar tidur itu.

“Indah ya Mak…” kata Minah

“Iya, seperti melihat langit. Minah juga harus bisa jadi glow in the dark seperti itu yang…”

“Terang di saat gelap ya Mak? Minah tau kok, kita orang nggak punya.. Cuma Minah yang sekolah, jadi Minah harus bisa menerangi rumah ini.” sambung Minah

Sang Emak mengelus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang yang tidak akan pernah terukur oleh apapun.

“Emak nggak boleh bilang, jangan seperti Emak dan Bapak yang gelap terus. Minah nggak suka. Emak dan Bapaklah yang menerangi Minah dengan cahaya kasih sayang yang tak pernah padam. ” kata Minah lagi.

“Omonganmu kayak orang tua saja Min…” kata Emak sambil mencium kening anak perempuannya itu.

Keduanya kembali terdiam dalam suka. Menikmati indahnya glow in the dark. Memang benar-benar menyala saat gelap.

Tiba-tiba rumah itu berderak. Bumi bergoyang. Semakin lama semakin menghentak. Minah dan Emaknya spontan berlari ke luar rumah. Tetangga-tetangga mereka sudah berada diluar rumah.

* * *

 

Gempa bumi 6,7 skala Richter mengguncang kota Jogja. Gempa yang terjadi malam hari ini menimbulkan banyak korban jiwa dan kerugian yang cukup besar. Banyak rumah warga yang rata dengan tanah Sampai berita ini diturunkan pemerintah kota belum memastikan jumlah kerugian yang terjadi.

 

Minah menutup lembaran buku diary usangnya yang ditemuinya di tumpukan file-file dalam kardus. Ada bulir-bulir air mata menggantung di kelopak matanya. Rasa rindunya bergejolak, memaksa mata membuka pintu air mata. Tangisnya perlahan turun membasahai hatinya.

HPnya berdering. Membuyarkan kenangan masa kecilnya.

“Gawat Bu Aminah!! Kantor digarong. Semua bahan baku dan mesin-mesin produksi Glow in the dark hancur. Kantor juga diobrak-abrik.”

Astaghfirullah…

“Iya… iya… Saya segera ke kantor.”

* * *

a mid night of the crowded day!

                                                                    Under my “glow in the dark”

Leave a comment